Makalah Budaya Sunda

Dari Mitos Oedipus hingga Dongeng Sangkuriang: Aspek Struktural Budaya Sunda dan Pasulukan Pasundan Haji Hasan Mustapa

Pendahuluan

Dongeng Sangkuriang dalam berbagai versinya yang berkembang di masyarakat selalu menampilkan Dayang Sumbi, wanita yang melahirkan Sangkuriang terlahir dari babi dan ayahnya yang berupa anjing. Dongeng yang dihubungkan dengan mula terbentuknya Lembah Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu ini sering ditafsirkan sebagai bentuk peyoratif penolakan orang Sunda terhadap incest. Dongeng ini paralel dengan mitos Oedipus dari Yunani yang diambil oleh Freud untuk membangun teori Oedipus Complex-nya. Freud memang menegaskan bahwa mitos yang mengungkapkan seorang tokoh yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya ini muncul tidak hanya dalam satu kebudayaan saja. Juga terdapat banyak anggapan bahwa dongeng ini adalah bentuk totemisme kebudayaan Sunda primitif sebelum datangnya ajaran agama-agama. Tetapi gagasan ini mengidap kelemahan historis di dalamnya. Bersamaan dengan pengadaptasian kisah Mahabharata dan Ramayana dalam pewayangan berabad-abad lalu oleh para waliyullah dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, mustahil bila sebuah dongeng yang melukiskan konstruk masyarakat sangat primitif yang bertentangan dengan ajaran agama tetap dituturkan secara lisan di berbagai tempat di Tatar Sunda yang telah memeluk agama Islam sejak lama. Tak kurang dari seorang Haji Hasan Mustapa menyebut dongeng ini sebagai kisah suluk. Sangkuriang dipenuhi dengan simbol-simbol yang demikian kaya dan sepintas saling kontradiktif dalam dirinya itu, seperti babi dan anjing, air seni sang raja, gunung dan lembah, taropong, tempurung kelapa, ayam jago, dan boeh rarang. Hal itu menuntut kita untuk menolak dongeng itu secara keseluruhan karena sama sekali tidak beresonansi dengan kesadaran atau memperlakukannya sebagai wacana yang mengaktivasi ruang kecerdasan khusus. Vico, seorang filsuf Italia telah mengutarakan pendapat yang dikembangkan oleh Levi-Strauss bahwa masyarakat lampau memiliki suatu 'kebijakan-puitis' (sapienza poetica), di mana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik metafora, simbol, dan mitos-mitos. Khasanah Sunda inilah yang akan merekonstruksi konsep strukturalisme budaya dan hakikat kemanusiaan yang membentuknya.

Semiotika, Strukturalisme dan Logostrukturalisme Bahasa Sunda

Istilah "semiotika" berakar dari bahasa Yunani, seme, semeion, juga semeiotikos, yang berarti penafsir tanda-tanda, kurang lebih arti semiotika adalah ilmu mengenai analisis tanda dan bagaimana sistem penandaan tersebut berfungsi. Semiotika menyeruak ke permukaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan dan mengimbas banyak disiplin ilmu lainnya baru terjadi setelah para murid dan kolega Ferdinand de Saussure (1857-1913) menerbitkan buku Cours de Linguistique Générale secara anumerta pada tahun 1916 yang merupakan kumpulan catatan kuliah yang pernah diberikannya.

Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dyadic di mana sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier), yaitu aspek material dari sebuah tanda entah berupa tulisan, suara maupun objeknya itu yang membentuk impresi mental. Sedang sisi keduanya adalah petanda (signified), yaitu abstraksi murni (pure abstract) yang sepenuhnya berupa konsep. Satu hal lagi yang sangat penting dalam kajian Saussure tentang tanda linguistik adalah sifat arbitrer yang menyatukan penanda dan petanda dimana tak ada logika yang ketat, alasan pasti yang menyatukan antara petanda dan penanda tak ubahnya dua permukaan kertas (retro dan verso).

Problem kearbitreran tanda Saussurian dapat disebabkan oleh dua hal berikut ini. Pertama, tidak dimengertinya proses pencerapan objek, baik yang berupa suara pengucapan dan tulisan pada kertas hingga terbentuk impresi mental yang berupa penanda (signifier) dan kedua, yang prosesnya sama sekali tidak teraba oleh semiotik, berupa pembentukan petanda (signified) yang berupa abstraksi murni. Problem yang pertama ini berusaha didekati oleh Saussure dengan menekankan aspek relasi dari elemen-elemen bahasa dalam suatu struktur, yang disebut sinkroni, yang sekaligus menandai pergeseran studi linguistik dari yang semula berorientasi pada perubahan elemen bahasa secara historis yang disebut diakroni. Dia menganalogikannya sebagai memotong pohon yang benar adalah secara melintang, bukan dari atas ke bawah. Dengan sinkroni, Saussure memperlihatkan bahwa aspek pencerapan elemen-elemen bahasa bukan dipusatkan pada masing-masing entitas bahasa tetapi pada relasinya dengan entitas yang lain. Ia membagi relasi ini secara fundamental menjadi dua, yaitu di tingkat fonetik (dicontohkan dengan coal/call) dan di tingkat fonemik (dicontohkan dengan tin/kin). Dengannya perbedaan entitas-entitas bahasa disistematisasi dalam kaidah oposisi biner sehingga makna-maknanya yang berbeda dapat dilekatkan. Tetapi oposisi biner ini tetap saja menimbulkan kearbitreran petanda terhadap penanda yang tak terselesaikan. Sejauh ini yang dapat disimpulkan hanyalah bahwa perubahan fonetik dan fonemik yang unik dalam entitas-entitas suatu struktur bahasa merupakan ciri dasar dari petandanya yang merupakan abstraksi murni.

Di sisi yang lain konsep oposisi biner yang konstruknya diinterpretasi terlampau sederhana dan dapat ditemukan 'dengan mudah' pada entitas-entitas bahasa ini telah mengundang kecurigaan Derrida bahwa proyek metafisika lama akan dihidupkan kembali. Dalam periode yang cukup panjang metafisika barat telah jatuh pada fundamentalisme dan membakukan serangkaian prinsip final yang 'membunuh subjek'. Bagi Derrida "Semua metafisikawan membentuk dari yang asal, tampak sederhana, utuh, normal, murni, standar, dan mengenal diri. Demi menyembuhkannya dari kecelakaan, penurunan, kesukaran, kemerosotan. Membuat yang baik di depan yang buruk, positif di atas negatif, murni di atas najis, sederhana di atas rumit, dan sebagainya. Ini bukan sekadar gejala metafisikal. Di antara yang lain, ini keadaan darurat metafisika, prosedur paling konstan, mendalam, dan kuat."

Dalam hal di atas Derrida benar dan ia waspada terhadap penarikan kaidah metafisika sederhana yang digeneralisasi dan seolah dapat menjelaskan setiap tanda. Tetapi hingga kini Saussure sendiri belum pernah mengajukan satu contohpun tentang petanda (signified) dari suatu tanda meski dengan gegabah ia menyimpulkan pembentukannya sebagai arbitrer. Tidak pernah dapat dijelaskan misalnya, konsep apakah yang menyebabkan pohon dapat diberi penanda (signifier) tree. Meski kaidah oposisi biner ini bukanlah jawaban metafisika, cara-cara Derrida menggoyahkannya secara liar hingga melepaskan keterpukauan orang pada tanda. Pengertian bahwa nilai sebuah tanda ditentukan sepenuhnya dari perbedaannya dengan tanda-tanda yang lain terwadahi dalam konsepnya yaitu différance. Namun konsep tersebut juga menegaskan bahwa nilai sebuah tanda tidak dapat hadir seketika. Nilainya terus ditunda (deffered) dan ditentukan – bahkan juga dimodifikasi – oleh tanda berikutnya dalam satu aliran sintagma. Différance, karena sifat alaminya, menolak setiap upaya untuk menghentikan alirannya. Derrida seolah hendak mencegah siapapun pada proyek-proyek pencarian penanda (signified) yang sejak semula memang telah dianggap arbitrer, dan bahkan kaidah oposisinya sendiri dengan segera hanyut dalam aliran sintagma.

Dekonstruksi radikal yang ditawarkan oleh Derrida sebenarnya hanyalah untuk membuat batas-batas pengaman yang kokoh dari daya khayal yang menyeruak di dalam benak setiap kali pikiran kita dibanjiri oleh persepsi indrawi. Setiap saat hal itu terjadi maka kaidah filsafat, ideologi dan prinsip kategorisasi apapun menjadi tak berarti; dan daripada menimbulkan keterpukauan, ia lebih baik didekonstruksi. Konsep yang menjadi penanda, yang lebih baik tetap tak terungkapkan daripada diungkapkan secara arbitrer itu, semestinya tetap menjadi bagian dari 'logos'-nya Plato. Dalam The Republic, Plato menjelaskan bahwa 'logos', dipadukan dengan 'musike', sebagai satu-satunya penjaga yang aman untuk 'arete'. Padahal kita tidak akan mendapatkan gambaran yang utuh tentang ketiganya bila tidak menyelidik langsung ke teks asli dimana istilah tersebut dikonseptualisasi.

Aretè yang sering diterjemahkan menjadi kebajikan (virtue) yang digunakan dalam bentuk tunggal maupun plural. Aretè berarti menjadi baik pada sesuatu, dan adalah sudah lumrah apabila orang Yunani bertanya "aretè dari apa atau siapa?" yang secara sepintas seringkali dipahami orang sebagai 'efisiensi'. Pada abad kelima muncul para guru Sofis yang juga mengajarkan aretè namun belum dalam pengertian etis sebagaimana yang dikemukakan oleh Socrates, Plato, ataupun Aristoteles, dimana mereka merubahnya menjadi kata sifat anthropine yaitu sebuah keunggulan yang dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Namun mereka pun menekankan bahwa pada kenyataannya kebanyakan manusia tidak mengetahui aretè tersebut, dan oleh karena itu manusia harus mencari serta menemukan ergon (amal)-nya sehingga manusia dapat mengetahui apa keunggulannya di muka bumi ini.

Socrates dan Plato, misalnya, menegaskan bahwa hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang, yaitu para hylakes (dalam bahasa Yunani yang berarti penjaga-penjaga), yang dipilih hanya berdasarkan "bakat" tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan, menunjukkan eksistensi kemisian yang unik, yang dikenal sebagai aretè dan hanya dapat diketahui secara utuh bersamaan dengan pencapaian eudaimonia. Keunikan misi hidup ini diilustrasikan dengan indah oleh Plato dalam definisinya tentang keahlian seorang negarawan dengan seorang tukang tenun. Menurut Plato, tugas seorang negarawan sebagaimana halnya tukang yang menenun benang wol menjadi sehelai kain, adalah bertugas menenun, atau menciptakan keselarasan yang harmonis, di antara semua keahlian lain di dalam negara. Secara implisit Plato hendak menunjukkan bahwa dimanapun jalur kemisian hidup seseorang dijalankan, pada hakekatnya tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain. Dalam hal ini kata aretè ini dapat dipadankan dengan dharma yang ada dalam agama Hindu.

Seseorang yang menjalankan arete-nya dengan penjagaan logos yang dianugerahkan Tuhanlah adalah pencipta bahasa dan pemelihara setiap tindakan penandaan (signification). Proses berbudaya yang mencerap objek-objek alamnya dengan cara tertentu menjadi bahan dasar bagi logos yang senantiasa menghubungkan aspek terdalam dari pengenalan nafs akan Tuhannya dengan aspek terjauh dari pengenalannya akan dunianya. Penanda yang berasal dari logos ini diperlihatkan secara luar biasa ketidak-arbitrerannya dalam entitas-entitas asli Bahasa Sunda oleh Haji Hasan Mustapa. Menurut beliau, penanda terlahir mengikuti petandanya yang menjelaskan logos tertentu. Beliau mencontohkan konsep abstrak tentang ketunggalan menjadi petanda (signified) dari beragam kata dengan permainan fonemik dan fonetik yang khas yaitu tunggal, nunggal, tanggal, tunggul, tutunggul, ninggalkeun, dan tanggul. Atau dalam contoh yang lain konsep abstrak tentang sebab berdiri tegaknya sesuatu sebagai petanda (signified) dari kata suku, soko, saka, seke dan siki. Penjelasan beliau secara hipotetis membuktikan adanya hubungan unik antara petanda (signified) dengan struktur fonemik tertentu dalam beragam entitas suatu bahasa. Skema penandaan (signification) berawal dari logos yang dijelaskan oleh Haji Hasan Mustapa diperlihatkan di bawah ini:

Logos Haji Hasan Mustapa
Pada saat Levi Strauss membawa konsep linguistik Saussurian ke dunia antropologi, ia memandang hanya pembedaan linguistik di tingkat fonemiklah yang berarti, mengikuti hasil penelitian A.R. Luria (1976) seorang ahli neuropsikologi Rusia. Hasil eksperimen Luria menunjukkan bahwa semua mekanisme serebral yang berfungsi untuk mempersepsi suara dan bunyi musikal ternyata berbeda dengan mekanisme yang memungkinkan kita menangkap bunyi-bunyi bahasa. Ia juga menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi pada telinga temporal otak besar bagian kiri juga merusak kemampuan untuk menganalisis fonem, namun tak berakibat apapun terhadap kemampuan pendengaran musikal. Vitalnya pembedaan fonemik ini tidaklah arbitrer, seperti yang disimpulkan oleh Strauss, dan bekerja hanya melalui algoritma-universal oposisi biner dengan serangkaian aturan transformasinya, sebab keseluruhannya hanyalah aspek penanda (signifier) yang didahului dan dengan sendirinya diikat oleh aspek petanda (signified). Padahal secara fisikal, berbagai suku bangsa di dunia memiliki keunikan fisiologis. Alat pengucapan yang khas menyebabkan lahirnya struktur fonemik tertentu yang unik pada tiap bahasa dan menciptakan rumpun-rumpun bahasa. Sedemikian uniknya sehingga struktur fonemik tertentu nyaris hanya bisa diucapkan secara sempurna oleh suku bangsanya, bertepatan dengan konsep abstrak yang terlahirkan. Daripada menyelidiki struktur fonemik yang khas dalam elemen-elemen tiap bahasa ini, Strauss lebih tertarik pada tidak signifikannya elemen vokal dibanding konsonannya dan mengoposisikan keduanya.

Dalam skema penandaan (signification) bermula dari logos yang ditunjukkan oleh Haji Hasan Mutapa di atas, struktur fonemik tertentu sering kali dipertahankan dengan variasi vokal yang khas untuk memperlihatkan lokasi logos yang unik. Perubahan struktur fonemiknya sendiri terhadap logos tertentu dapat terjadi mengikuti pola-pola tipikal yang umumnya melukiskan berbagai kategori aksidental dimana logos tersebut berlangsung. Tetapi pola dasar ini tidak akan segera terlihat bila rentang perubahan struktur fonemik yang memiliki logos tertentu tidak dapat diidentifikasi dengan baik. Lebih dari itu, elemen vokal yang sangat sedikit bila dibandingkan konsonannya, yang seolah hanya menyediakan alat bagi struktur fonemik tertentu untuk berbunyi, ternyata dapat membuka ruang-budaya yang luas bagi masyarakat Sunda yang mengartikulasikannya.

Bila kita meneliti kembali tentang bagaimana sebuah tanda bahasa dituliskan, maka bahasa Sunda dan Jawa memiliki sistem-tanda aksara yang setipe dengan bahasa Arab dan berbeda dengan Latin secara paradigmatik. Bila dalam aksara Latin, konsonan dan vokal diletakkan secara sejajar, maka aksara hanacaraka meletakkan konsonan sebagai inti dan vokal sebagai sandhangan atau pakaian, yaitu sesuatu yang dikenakan oleh konsonannya. Dalam aksara ini, sebuah konsonan hanya akan 'berbunyi' atau manifes ke alam syahadah ini hanya bila ia diberi pakaian vokal tertentu. Tipe vokalnya pun diperluas dengan 'eu', 'ng' dan 'r' dari yang semula hanya a, i, u, e, dan o. Penanda aksara yang demikian berasal dari petanda-petanda (signified) dengan logos yang unik : setiap nafs yang dilahirkan ke alam ini akan menggunakan pakaian jasad yang menjadikannya syahadah sehingga dapat dicerap oleh persepsi indrawi.

Saussure pun kemudian menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap fenomena bahasa (Prancis: langage) selalu dibentuk oleh dua faktor, yaitu parole (ekspresi kebahasaan) dan langue (sistem pembedaan diantara tanda-tanda). Langue dapat dibayangkan sebagai sebuah lemari besar yang menyimpan semua kemungkinan tanda yang dapat digunakan oleh sebuah masyarakat, mengambilnya satu demi satu untuk mengkonstruksi sebuah parole tertentu. Langue menunjukkan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial, namun sistem ini pada dasarnya bersifat abstrak. Seperti ketika bermain catur di mana aturannya sudah lazim diketahui, tanpa harus membuatnya senantiasa nampak.

Konsep Saussure tentang langue ini hanya akan menjadi jelas bila ia merupakan locus yang unik dari seluruh petanda (signified) asli suatu bahasa. Keunikan locus petanda tersebut menunjukkan tipe dasar masyarakat tertentu, alam yang melingkupinya dan sekaligus juga memudahkannya untuk terus menerus diartikulasikan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Berbeda dengan banyak ahli bahasa yang menganggap bahasa lahir dari seuatu konvensi sosial, setiap tindakan penandaan (signification) itu mempersyaratkan orang yang mengenal locus tersebut. Tetapi mengikuti perjalanan waktu, sedikit sekali bahasa-bahasa di dunia yang tidak mengalami proses penyerapan unsur-unsur asing dan pelenyapan unsur-unsur asli. Kedua proses tersebut berlangsung perlahan dan simultan oleh pembakuan berbagai parole penggunanya, dan mengerosi terus-menerus bahasa tersebut manakala locus aslinya sulit di-'rasa'-kan oleh para penggunanya. Meski 'rasa' suatu masyarakat pengguna bahasa telah bergeser jauh dari locus tersebut, tetapi bila organ pengucapannya dan dunia tempatnya hidup yang khas relatif tetap akan membentuk kebiasaan distingsi fonemik yang terpelihara.

Langue yang menempati locus tertentu ini sangat dekat dan mendapatkan legitimasinya dalam pola-pola arketipe yang diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung, seorang pendiri aliran Psikologi Analitik. Menurutnya, lukisan arketipe adalah pola-pola atau motif-motif universal yang berasal dari ketaksadaran kolektif, dan terproyeksikan dalam kebudayaan manusia sebagai beragam ajaran agama, kisah-kisah orang suci, mitologi, legenda dan masih banyak lagi. Ciri khas universalitas arketipe yang bertahan dalam periode waktu sangat panjang menunjukkan bahwa materinya hanya mungkin dilemparkan oleh entitas dari lapis ketaksadaran yang memiliki karakteristik dasar sama untuk semua manusia. Dan entitas yang memiliki kemampuan tersebut tak lain adalah nafs manusia yang mengenal Tuhannya.

Budaya Masyarakat Lampau dan Mitologi : Kebijakan Puitis-Holistik yang Dilupakan

Dengan mengikuti pemikiran semiotika di atas maka dapat dikatakan bahwasanya budaya adalah "serangkaian proses sosial dimana makna diproduksi, disirkulasi dan dipertukarkan". Budaya dilihat sebagai proses pemaknaan tidak hanya pada alam atau realitas eksternalnya, melainkan juga pada sistem sosial yang menjadi bagian kebudayaan itu sendiri, juga pada identitas serta kehidupan sehari-hari. Budaya membedakan dirinya dengan alam untuk menetapkan identitas keberadaannya, lalu melegitimasi diri dengan membandingkannya kembali pada alam dan menetapkan dirinya sebagai 'yang alamiah', lebih sebagai yang 'kultural' itu sendiri. Alam, dengan begitu, merupakan realitas mentah yang melingkupi suatu masyarakat. Betapa pun tak tersentuhnya, 'yang alamiah' adalah makna yang dibentuk oleh suatu budaya bagi alam. Dengan kata lain, yang alamiah merupakan produk budaya, sedangkan alam itu sendiri adalah pra-kultural.

Tetapi intensitas persentuhan masyarakat lampau dengan alamnya tak mudah diimajinasikan oleh seseorang yang dibesarkan oleh semua perangkat kebudayaan modern. Bagi seseorang dari masyarakat lampau, dapat memberikan label 'alamiah' pada sebuah fenomena alam adalah akumulasi dari pemberian tanda yang holistik karena, seperti yang dijelaskan oleh Levi Strauss, diproses dalam beberapa tingkatan secara simultan. Sedangkan seseorang dari masyarakat modern baru dapat memberikan label 'alamiah' justru pada saat ia menanggalkan sebagian besar dari elemen-elemen kebudayaannya, berupaya menatap langsung 'muka alam' dan mengalirkannya dalam kehidupan kesehariannya 'tanpa disaring'. Alamiah, secara kontradiktif oleh karenanya adalah hasil konseptualisasi masyarakat lampau dan hasil de-konseptualisasi masyarakat modern. Membaca hasil kebudayaan masyarakat lampau dan mencapai sebuah titik kesepakatan yang sama atasnya membutuhkan dua usaha dengan arah vektor yang berlawanan.

Jauh sebelum Levi-Strauss, Giambatista Vico, seorang filsuf Italia abad 18, memandang manusia 'primitif' bukan sebagai masyarakat yang terbelakang, kekanak-kanakan, atau barbar sebagai mana anggapan masyarakat pada saat itu. Mereka merupakan sosok yang memiliki karakter instingtif dan bersifat 'puitis' dalam cara ia memberikan respon terhadap dunia; suatu 'kebijakan-puitis' (sapienza poetica), di mana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik metafora, simbol, dan mitos-mitos. Karena itu pula maka Levi-Strauss membedakan cara berpikir antara yang 'ilmiah' dan yang 'primitif', tanpa menyebutkan bahwa yang satu lebih baik dari yang lainnya. Cara berpikir 'ilmiah' bekerja dengan memilah-milah alam ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan semakin kecil; sebaliknya, berpikir 'primitif' bersifat holistik, ia bertujuan untuk menemukan jalan bagi pengertian akan seluruh alam. Dengan demikian, apa yang oleh sains dianggap sebagai 'tak ilmiah' atau 'tak nyata', seperti kepercayaan, imajinasi, dan pengalaman subjektif, sebenarnya memang bukanlah wilayah yang menjadi realitasnya. Tentu saja, sains Barat jauh lebih bersifat instrumental dalam penguasaannya untuk mengubah dunia dibandingkan berbagai fenomena magis yang kerap muncul di dalam masyarakat lampau.

Wilayah yang dijelajahi oleh antropologi ini menghadapi problem cara-pandang yang dilematis, seperti yang dijelaskan oleh Levi-Strauss sendiri,

"Antropologi, lebih tepat kita katakan…bergelut dengan suatu masyarakat yang dianggapnya tak beradab, tak memiliki sistem tulis-menulis, dan merupakan tipe masyarakat pra- atau non-industrial. Namun, dibalik semua penampakan negatif ini, ada suatu relasi positif. Masyarakat seperti ini, jauh lebih besar dibanding pada masyarakat lainnya, berlandaskan pada hubungan-hubungan personal, pada relasi konkret antar-individu…
Dari sisi ini, justru masyarakat modern yang mustinya memperoleh anggapan negatif. Hubungan kita dengan sesama sekarang ini didasarkan pada pengalaman global, yaitu perhatian antara satu dengan lainnya, yang sifatnya terpecah-pecah dan kadang-kadang. Hal ini sebagian besar merupakan hasil proses rekonstruksi tak langsung dari budaya tulis-menulis. Masyarakat kita tak lagi terhubung dengan masa lalu yang ketika itu masih memiliki tradisi oral dan kontak secara langsung dengan sesama… »

Pada titik inilah muncul refleksi atas cara kerja kebudayaan modern sebagai hasil cara berpikir ilmiah, "Apakah akan terjadi keterputusan-budaya antara masyarakat kini dengan masyarakat lampau bila cara pandang holistik yang melakukan proses enkodasi alam dalam beberapa tingkatan secara simultan tetap dipertahankan?" Kita tak ingin membalikan waktu dan berandai-andai atas apa yang telah terjadi, tetapi paling tidak, penyakit-penyakit akut masyarakat modern yang berasal dari jantung proses penalaran ilmiahnya sendiri dapat ditemukan obatnya dari kebudayaan masyarakat lampau. Lebih dari sekedar idiom-idiom, peribahasa-peribahasa, atau cara bertutur yang puitis, kebudayaan masyarakat lampau mencapai puncaknya dalam bentuk mitos. Di dalamnya penciptaan alam semesta (kosmogoni), struktur alam semesta (kosmologi) serta asal-usul dan watak manusia dieskpresikan.

Tetapi mendekati mitos dengan proses de-konseptualisasi terhadap hasil-hasil kebudayaan modern yang melekat dalam seluruh kehidupan kita tidaklah mudah. Mitos, bagi Levi-Strauss misalnya, adalah sebuah kaca pembesar dari suatu cara di mana manusia senantiasa berpikir, tak ubahnya tafsir mimpi bagi Freud, suatu jalan yang mudah menuju ketaksadaran (unconscious). Namun, berbeda dari Freud, ketaksadaran yang diajukan oleh Levi-Strauss adalah sebuah ruang yang kosong melompong, "yang menerima denyut-denyut, denyar-denyar emosi, representasi, rangsang-rangsang lain dari luar, dan ia menata serta mentransformasikan semuanya itu 'sebagai layaknya yang dilakukan oleh perut terhadap makanan yang masuk dan lewat di dalamnya'". Sedangkan bawah sadar (subconscious) merupakan "gudang timbunan citra dan ingatan, kenangan, dan adalah 'suatu aspek dari ingatan'—kira-kira semacam onggok arsip yang carut marut berantakan". Akibatnya, tak ada makna khusus dalam mitos bagi Levi Strauss. Dalam mitos, pikiran mengimitasi dirinya sendiri sebagai obyek, kemudian merefleksikan mode pengoperasian pikirannya sendiri yang Levi-Strauss pandang sebagai suatu manisfestasi dari pemfungsian pikiran secara bebas, yang secara relatif mengamati tanpa terganggu oleh faktor-faktor asing; yang menampilkan gambaran dari pikiran dalam suatu state alami.

Posisi teoretik Levi-Strauss yang demikian, meski bermula dari menyejajarkan proses berpikir masyarakat lampau dengan masyarakat kini, telah memberikannya wadah yang monoton dan status kesadaran yang kosong. Baginya, masyarakat lampau hanya mewariskan kaidah oposisi biner yang bekerja melalui operasi kongkret dimana di dalamnya terdapat serangkaian aturan transformasi, yang mengaitkan dan mengulang-ulang cerita dengan melakukan transformasi elemen-elemen pembentuk kisah secara superfisial, misalnya, seperti yang ada dalam mitos Oedipus yang juga pernah dipakai oleh Freud. Dengan cara Levi Strauss, masyarakat kini tak dapat mengambil pelajaran apa-apa, apalagi kebijakannya, selain kaidah berpikir sederhana yang diterapkan secara konsisten dalam semua aspek budaya masyarakat lampau.
Demikian juga halnya dengan Roland Barthes dalam Mythologies yang mengargumentasikan bahwa cara kerja utama mitos adalah 'meng-alamiah-kan sejarah'. Mitos, bagi Barthes, adalah 'cara kultural' untuk memikirkan tentang sesuatu. Dengannya kita dapat mengenali mitos-mitos jaman ini, seperti misalnya masyarakat kota lebih berbudaya daripada masyarakat desa atau karier dalam bekerja. Gagasannya diperkuat oleh studi Gusfield dan Schwartz (1963) tentang sosok ilmuwan dalam acara-acara fiksi dalam televisi Amerika yang memberi mereka citra 'dingin', 'keras', 'anti-sosial', 'tidak relijius' dan 'asing'. Dengan mengenali lagi pembentukan artefak-artefak mitos jaman ini, kita dapat berjarak dan melakukan kritik terhadapnya.

Sayangnya gagasan Barthes beranjak dari pengandaian tentang cara tertentu sebuah mitos diterima oleh suatu masyarakat lampau dan bahwa cara tersebut mengada-ada dan telah sepenuhnya ditinggalkan oleh rasionalitas masyarakat modern. Mitos secara konseptual telah dilekati oleh petanda (signified) yang disebut Barthes sebagai 'konstruk budaya yang diterima luas oleh suatu masyarakat hanya dalam kurun waktu tertentu'. Cara baca Barthes ini telah mendudukkan mitos sebagai simbol pandangan sempit masyarakat dalam melazimkan bentuk kebudayaan tertentu dan memberi predikat bentuk-bentuk eksesif konsumerisme masyarakat modern sebagai mitos.

Sistem Langue Mitos dan Kemungkinan bagi Logos dibalik Struktur

Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Levi-Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai 'impian' kolektif, basis ritual, atau semacam 'permainan' estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai 'mainan anak-anak', serta menolak adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Levi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Levi-Strauss pada analisa fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar:

Di satu sisi tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apapun bisa disematkan pada subjek apa saja ; setiap relasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dipungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah yang amat luas…Jika muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa?

Mitos, menurut Levi-Staruss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa itu sendiri karena merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun tentu saja, analogi seperti ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa sehingga sekaligus pula harus ditunjukkan pula perbedaannya melalui konsep Saussure mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian individual. Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya. Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan. Maka, setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentrandensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis dan trans-kultural atas dunia. Tidak seperti puisi, mitos tak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.

Berdasarkan anggapan ini, Levi-Strauss memformulasikan dua proposisi dasar dalam hubungannya dengan mitos :

1. Makna dari mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya yang terisolir, tapi haruslah melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini.
2. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.

Apa yang ingin coba ditangkap Levi-Strauss di sini adalah sense tentang adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik, antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekedar kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan versinya, dan ia mengatakan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua sumbu, seperti halnya dalam partitur orkestral, untuk membangkitkan paduan nada dan harmoni. Di sisi lain, Levi-Strauss percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang melengkapi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi bekerja mengatasi realitas kasar dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah 'perangkat-logika' yang berfungsi menciptakan ritus-perbatasan seperti yang telah dibahas di atas, untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi.

Pada titik inilah usaha Levi Strauss untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya dari parole dengan melakukan analisa fonemik atasnya mencapai batas-batas terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau. Tetapi Levi Strauss terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga, baginya, di balik struktur tak ada apapun lagi. Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat mirip disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan transformasi arbitrer yang menciptakan varian mitos. Kearbitreran ini dimungkinkan karena, bagi Levi Strauss, satu-satunya yang kokoh hanyalah mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaannya terhadap langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik padanya. Padahal struktur mitos hanyalah penjelasan bahwa ia adalah 'bahasa khusus' yang mesti dicari logos di balik langue-nya.

Dalam sebuah mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan tentang Angin Selatan yang jahat karena begitu kencang dan dingin sehingga bila angin ini berhembus manusia tidak dapat beraktivitas secara normal. Demikianlah hingga semua makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil adalah ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat bahwa ia diijinkan untuk berhembus hanya pada hari-hari tertentu secara berganti-ganti, sehingga meninggalkan daerah itu pada saat manusia dapat bepergian normal. Levi Strauss menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner antara alam yang ramah terhadap manusia dengan alam yang bermusuhan, yaitu kehadiran angin dan ketidakhadiran angin, dan melihat aspek yang sama terhadap ikan skate pada posisi manusia memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari samping ia seperti segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian menjadikan ikan skate sebagai 'tokoh pendamai' pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut sesungguhnya mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika konkret ini dalam pandangan Levi Strauss menunjukkan demikian mudahnya masyarakat lampau menetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.
Oposisi Biner Logika Konkret Alam
Kajian biometeorologi lintas-disipliner dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuktikan bahwa konsep bioindikator memiliki dasarnya dalam perilaku adaptasi makhluk hidup terhadap perubahan iklim di habitat mereka. Sejumlah ikan tertentu akan berubah sifat lemak dan cairan metaboliknya bila terjadi transisi cuaca yang signifikan seperti dari normal ke kondisi badai dan angin topan dan sebaliknya. Beberapa jenis respon yang khas tersebut bahkan masih diperlihatkan setelah ikan tersebut mati dan cairannya diekstrak secara khusus. Bila perilaku ikan skate benar-benar memperlihatkan transisi cuaca tersebut akan berimplikasi pada dua hal. Pertama, bahwa cara orang-orang suku Indian mengkonstruk pengetahuannya bersifat holistik dan simultan, sehingga kehadiran alam dapat dicerap lebih utuh. Dan kedua, mereka mengintegrasikan pengetahuannya ke dalam bentuk-bentuk kebudayaan yang semangatnya berendah hati, mengikuti 'kehendak alam' yang senantiasa bertasbih dan kemasannya mudah dipahami sehingga terpelihara dari generasi ke generasi.

Mitos Oedipus yang distrukturkan oleh Levi-Strauss berawal dari Cadmos, nenek moyang Oedipus dan pendiri kota Thebes, membunuh seekor naga dan dari gigi naga yang ditanam muncullah ksatria-ksatria Spartoi. Pada mulanya mereka saling bunuh, namun lima orang yang masih selamat kemudian menjadi cikal-bakal orang-orang Thebes. Nantinya, akan ada bagian yang mengisahkan Oedipus membunuh monster bumi, Sphinx yang penuh teka-teki. Untuk jasanya, Oedipus dianugerahi singgasana Thebes—yang kosong semenjak kematian Raja Laois–dan menikahi Ratu Jacosta yang menjanda. Tak dinyana, Oedipus sesungguhnya membunuh ayahnya sendiri, yaitu Raja Laois, dan menikahi ibu kandungnya. Penduduk Thebes memperoleh kutukan berupa wabah, atas dua dosa yang tak pernah mereka sendiri sadari. Setelah Oedipus mengasingkan diri, dua putranya—yaitu Eteocles dan Polyneices—saling membunuh untuk memperebutkan singgasana. Dewan kota Thebes memutuskan agar jasad Polyneices ditingggalkan begitu saja tanpa dikebumikan, yang kemudian diabaikan oleh saudara perempuannya. Upacara penguburan dilakukan oleh Antigone. Akibat pelanggarannya, ia mendapatkan hukuman dibakar hidup-hidup. Sungguh menarik bahwa nama kakek Oedipus, yaitu Labdacos, berarti lumpuh, dan Laois berarti pincang. Sementara nama Oedipus sendiri secara harfiah berarti si kaki bengkak. Ketiga-tiganya pada dasarnya memiliki arti yang sama: "tak bisa berjalan dengan benar".

Oleh Levi-Strauss, struktur mitos—seperti kisah Oedipus—dibongkar dengan memilah-milahnya menjadi satuan-satuan kisah terkecil, yang dinamai mitem (serupa dengan "fonem" dalam kajian lingusitik) yang merupakan "satu bundel relasi". Dalam analisisnya, Levi-Strauss mengabaikan urutan cerita, alih-alih ia mengklasifikasikan mitem-mitem berdasarkan tipe relasinya seperti bagian "Cadmos membunuh naga" serupa dengan bagian saat "Oedipus membunuh Sphinx." Kedua bundel kisah tersebut dapat disatukan dalam kelompok yang sama. Kemudian mitos Oedipus tersebut disusun kedalam kolom dan baris. Kolom dikelompokkan berdasarkan mitem, sedangkan baris disusun bedasarkan urutan cerita. Mitos dibongkar dengan memilahnya menjadi dua poros yaitu poros sintagmatik (yaitu urutan cerita secara horisontal) dan poros paradigmatik (berupa bundel relasi-relasi). Dengan analisis semacam itu, bukan maksud Levi-Strauss untuk menyingkap arti sebuah mitos namun untuk mengenali kondisi-kondisi yang memungkinkan produksi dan transformasi mitos. Relasi-relasi di dalam cerita, menjadi sebagai berikut:
Cerita Mitos Secara Horisontal
Bagi Levi-Strauss mitos hampir selalu mengulang-ulang tema yang berkaitan dengan pencarian asal-usul manusia; apakah manusia diciptakan dari darah atau tanah, ataukah merupakan hasil reproduksi dari manusia yang lain? Setelah pemujaan pada hubungan darah dan kebalikannya, monster–-makhluk tanah/darah–pun dibantai. Ketidakseimbangan atau ketidakmampuan berdiri pada hampir semua tokoh laki-laki menggambarkan rujukan pada kelahiran manusia (yang tak dapat berdiri sampai mereka tumbuh kuat dan mencapai keseimbangan). Namun dalam berbagai mitos lain, manusia yang tak dapat berdiri dilahirkan dari tanah. Empat kolom hasil analisis, tak lain adalah upaya untuk menstrukturisasi pertanyaan sekaligus kemungkinan-kemungkinan jawaban, berkaitan dengan pencarian asal-usul manusia. Disimpulkan pula oleh Levi Strauss, bahwa relasi-relasi semiotik antara satuan-satuan kisah dalam mitos Oedipus pada dasarnya merupakan sinyal tentang perilaku mitos secara umum, khususnya yang berkaitan dengan asal-usul manusia.

Analisis Levi Strauss ini sungguh-sungguh dilematis: di satu sisi kita mendapatkan cara baca mitos Oedipus yang terstruktur, di sisi yang lain kita digelisahkan oleh pernyataan Levi Strauss yang tidak memberikan pendasaran teoretik apapun bahwa seluruh mitos ini bermula dari pencarian asal-usul manusia. Levi Strauss sendiri ternyata mesti menegaskan pencarian asal-usul manusia ini muncul dalam empat kolom langue–nya tanpa mode transformasi apapun yang menyatukan gagasan semua parole–nya dan berspekulasi bahwa terdapat pertanyaan-pertanyaan dan kemungkinan jawaban atas persoalan tersebut dalam mitos ini. Tindakan pemaknaan adalah proses yang spontan dan tidak dapat dihambat oleh keindahan struktur meski nyaris mustahil mendapatkan landasan teoretik yang rigid. Eksplorasi struktur mitos yang unik paling jauh hanya dapat menjadi indeks akan logos di dalam diri manusia, yang tidak diikat oleh faktualitas sejarah dan kausalitas. Bila sebuah logos ditemukan maka seluruh aspek yang mengkonstruksi langue dan parole-nya dapat didudukkan dengan benar. Manfaat terbesar dari penemuan ini tentu saja akan sama samarnya dengan logos itu sendiri, dan tidak akan mendapatkan apresiasi yang memadai bila tidak berminat mengetahui hakikat insan yang sangat samar.

Mitos yang serupa hadir di kebudayaan Jawa dalam bentuk kisah pewayangan yang teks lengkapnya dituliskan di dalam Serat Babad Tanah Jawa yang ringkasannya dituturkan berikut ini. Alkisah tersebutlah di negeri Gilingwesi bertahta di sana seorang raja bergelar Prabu Watugunung yang mempunyai dua permaisuri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landep. Waktu itu negeri Gilingwesi sedang dilanda malapetaka besar yang membuat Prabu Watugunung sangat bersusah hati, namun ia dihibur oleh permaisurinya sambil bercengkerama di atas dipan Kantil Gading. Ketika raja sedang berbaring santai, mahkotanya ditanggalkan, sang permaisuri memperhatikan. Sekilas dilihatnya raja mempunyai tanda botak di kepala. Ia memberanikan diri untuk menanyakan apakah yang menyebabkan tanda itu dan diberitahukan bahwa pada waktu dirinya masih kecil, dia tergolong anak yang nakal. Sedemikian nakalnya, ketika itu ibunya sedang mengipasi nasi panas merasa diganggu, sehingga karena amarahnya, si anak kecil dipukul dengan ujung centong yang membawa akibat luka parah dan berdarah di kepala dan menyakiti hati si anak kecil. Maka pergilah si anak meninggalkan rumah tanpa tujuan.

Alangkah terkejut Dewi Sinta mendengar cerita Sang Prabu karena ia teringat masa lampau ketika melukai anaknya dengan centong, dan anaknya menghilang tak tahu rimbanya. Karena rasa sedih dan menyesal dia pun berusaha mencari jalan untuk melepaskan diri dari kungkungan Prabu Watugunung. Sang Prabu menanyakan mengapa tiba-tiba Dewi Sinta melamun, kemudian dia menjawab bahwa dirinya sangat terpesona dan mengagumi keagungan sang raja. Namun ada satu soal yang belum terpenuhi yaitu sang prabu belum mempermaisurikan bidadari surga. Menurut perhitungan Dewi Sinta bila sang prabu melamar bidadari surga pasti akan terjadi peperangan, sang prabu akhirnya akan menemui ajalnya. Pada kesempatan itu ia akan dapat melepaskan diri dari genggaman Prabu Watugunung. Mendengar hal itu, bangkitlah kehendak Prabu Watugunung untuk naik ke Suralaya dan meminang bidadari surga. Perintah dikeluarkan kepada para punggawa, panglima berikut keduapuluh tujuh putranya untuk siga tempur. Pasukan Gilingwesi akan menggempur Suralaya.

Di Suralaya, setelah Batara Guru mendengar Prabu Gilingwesi akan menyerbu, meminta kesediaan semua dewa untuk menghadapinya. Syahdan hanya Betara Wisnu dan putranya sajalah, setelah mendengar berita yang dibawa oleh Betara Narada, yang berani maju menghadapinya. Dua panglima perang saling berhadapan, Prabu Watugunung dengan balatentaranya berhadapan dengan Batara Wisnu dan puteranya. Prabu Watugunung merasa tak sepadan. Lalu diajukanlah tawaran kepada Batara Wisnu agar sebaiknya peperangan ini diurungkan saja. Jika Batara Wisnu bisa menebak teka-tekinya, maka sang prabu merasa kalah, dia dengan rela bersedia dibunuh. Sebaliknya jika musuh tak dapat menebaknya seluruh dewa di Suralaya supaya tunduk dan semua bidadari diserahkan untuk dijadikan istri oleh Watugunung. Batara Wisnu memperkenankan usul itu, maka mulailah kata tebakan diucapkan oleh Watugunung sebagai berikut, "Ada pohon adhikih namun buahnya adhakah dan sebaliknya ada pohon adhakah tapi buahnya adhikih, apakah gerangan keduanya?" Teka-teki ini langsung dijawab oleh Batara Wisnu dengan mudah, bahwa "pohon adhikih namun buahnya adhakah adalah semangka sedangkan pohon adhakah namun buahnya adhikih adalah beringin." Karena tepatnya tebakan Sang Wisnu, Watugunung menjadi terpaku, bungkam, merasa sudah kalah dalam perangnya maka tak ada jalan lain kecuali menyerah. Batara Wisnu segera menjatuhkan senjata cakranya mengarah langsung ke pusat leher. Prabu Watugunung rebah, tewas tanpa leher.

Kisah ini memiliki kemiripan dengan mitos Oedipus, meski bila distrukturkan dalam matriks dengan sumbu langue dan sumbu parole dapat dipastikan akan diperoleh struktur langue yang jauh berbeda dengan empat jenis langue yang diidentifikasi oleh Levi Strauss. Bila kita tetap berpegang pada kesimpulan Levi Strauss bahwa varian-varian mitos yang muncul di seluruh dunia hanya disebabkan aturan transformasi yang berbeda-beda maka tidak masuk akal bila terjadi perbedaan dalam struktur langue kedua mitos tersebut. Apalagi kita jelas-jelas tidak akan menjumpai adanya indikasi masalah pencarian asal usul kehidupan manusia dalam kisah pewayangan ini. Kesamaan struktur antara kedua mitos tersebut paling jauh hanya dapat disimpulkan oleh terdapatnya sejumlah unsur paralel yang membentuk plot kedua mitos seperti yang diskemakan berikut berikut ini:
Sejarah Kerajaan Sunda
Adanya kesamaan ini tidak mempermudah pemaknaan terhadap mitos, sebab bila keduanya hendak diintegrasikan dalam satu struktur akan diperoleh langue yang lebih banyak dan tidak ada basis yang memadai untuk melakukan analisis fonemik terhadapnya. Dalam hal ini lagi-lagi kita dihadapkan pada situasi di mana bukan keketatan struktur yang hendak dibuktikan, tetapi pada kemungkinan akan adanya logos di balik struktur mitos yang unik dan indah.

Dongeng Sangkuriang dalam Pasulukan Pasundan Haji Hasan Mustapa

Bila antropologi membutuhkan waktu ratusan tahun untuk sampai pada kesimpulan bahwa proses penalaran masyarakat lampau hanyalah varian lain dari masyarakat modern dan tak ada alasan yang signifikan untuk menyebut yang satu lebih maju dari yang lain, Haji Hasan Mustapa lebih jauh menegaskan bahwa hakikat kemanusiaan dari sejak dulu hingga kini sama saja. Menurut beliau, struktur insan yang dibawa seorang manusia dari masa ke masa tak pernah berubah, hanya saja 'warna'nya yang berganti-ganti seperti dalam bait pantun berikut ini :
Pantun Sunda Terbaik
Dongeng Sangkuriang adalah ilmu suluk Bandung, menurut beliau, yang dimaksudkan agar dapat menjadi jangkar penambat bagi keselamatan perjalanan para pencari Tuhan. Dengan tujuan itu, penampakan luar dongeng ini semata-mata 'bohong', ia menjadi peringatan yang nyata dalam perjalanan batin manusia untuk mengenal Tuhan-nya seperti yang disampaikan dalam bait pantun berikut ini:
Pantun Sunda
Dalam bait yang lain, penegasan agar tidak mencari realitas objektif dari dongeng tersebut diungkapkan dengan bahwa struktur geografis Bandung telah ada jauh lebih lama daripada kehadiran manusia di muka bumi. Hal itu tidak berarti penjelajahan yang luas pada daerah Bandung dan sekitarnya yang dilukiskan di sepanjang dongeng itu mengada-ada. Perjalanan suluk sebenarnya menumbuhkan rasa cinta negeri yang utuh dan mendalam karena setiap jengkal bumi yang dijejak mengingatkannya akan rasa penghambaan pada Tuhan. Bila persoalan yang fundamental ini tidak dipahami maka siapapun akan kehilangan 'bahan' dari buminya yang sangat berharga untuk mengolah rasa itu seperti yang dijelaskan oleh beliau di bawah ini:
Puisi Haji Hasan Mustapa
Dalam pasulukan Haji Hasan Mustapa, seorang Sangkuriang mengerti bahwa dunia yang mengelilingi dirinya ibarat lautan, demikian luas dan dalam sehingga siapapun yang terbenam ke dalamnya sulit untuk menyelamatkan diri. Pengertiannya tentang dunia itulah yang menyebabkan ia diminta kesanggupannya untuk berlayar mengarungi lautan. Pelayaran adalah simbol perjalanan mengarungi dunia tanpa tersentuh airnya, dengan perahu layar sebagai jasad dan seluruh perangkat nalar yang ada padanya sedangkan nafs sebagai penunggangnya. Meski seorang pencari Tuhan mesti sanggup mengarungi lautan, keberanian Sangkuriang pergi berlayar itu disebabkan oleh dorongan syahwatiahnya. Seketika ia membuat dudukan perahu yang ukurannya terlampau besar. Dudukan perahu ini adalah seluruh aspek penalaran jasadiah yang diperlukan untuk duduknya sang nafs. Sangkuriang hanya mementingkan pembangunan konstruk penalaran yang sebanyak-banyaknya untuk menjaga semua kemungkinan yang dapat mencegahnya tenggelam dalam masalah keduniaan. Disebabkan niatnya yang tidak murni, ia menjadi lalai terhadap kewajiban menahan diri dari unsur keduniaan itu sendiri yang pintu masuknya ada pada kerongkongan; pintu masuk ini disimbolkan dengan Sangiang Tikoro. Sangiang Tikoro adalah saluran air bawah tanah yang menghubungkan Cekungan Bandung dengan daerah luar. Sangiang Tikoro mesti dibendung bila hendak menciptakan danau di Cekungan Bandung. Bahkan ranting pohon dirinya yang hendak tumbuh (rangrang) berubah menjadi Gunung Burangrang, yang oleh seorang sufi Amerika bernama M.R. Bawa Muhaiyaddeen melambangkan seluruh aspek kesombongan dalam diri manusia yang mesti ditundukkan. Menurut Beliau,

"Terdapat gunung lain yang tujuh puluh ribu kali lebih tinggi dari Gunung Everest, dan ia tumbuh dalam diri manusia. ……..Apakah gunung tinggi ini? Gunung ini adalah arogansi yang tumbuh dari kebodohan manusia. Dalam kehidupan, di dunia, dan dalam delapan belas ribu alam, inilah yang tertinggi dari semua gunung. Gunung ini tumbuh dari ketiadaan kebijakan, dari egoisme, karma dan ilusi."

Sangkuriang demikian lalai hingga habislah waktunya untuk berjalan. Perjalanan nafs di malam hari ini dinyatakan dalam QS Thaahaa [20] : 77 yaitu "Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqat di dalam laut, kamu tak usah khawatir (takhafu) akan tersusul dan tidak usah takut (takhsya')." Kekuatiran Sangkurianglah yang menyebabkan gagalnya pelayaran itu sehingga ia mengalami 'kesiangan'. Haji Hasan Mustapa menegaskan lagi bahwa dongeng ini merupakan siloka bagbagan nyawa, yaitu seloka tentang jiwa (nafs) Rangkaian dongeng Sangkuriang ini dituturkan oleh Haji Hasan Mustapa dalam bait-bait papantunan berikut ini:
Pantun Haji Hasan Mustapa
Bagi Haji Hasan Mustapa, perjalanan Sangkuriang tidak berakhir di sini. Di bagian berikut dari bait-bait papantunan ini dikisahkanlah fase perjalanan selanjutnya dengan 'beliau' sendiri yang mengulangi lagi persiapan pelayaran yang gagal dikerjakan oleh Sangkuriang. Beliau setia membaca arah angin bertiup yang menentukan keberhasilan pelayaran. Beliau juga kuat menyumbat Sangiang Tikoro. Hal ini yang menyebabkan Gunung Burangrang berubah kembali menjadi rangrang, yaitu ranting muda yang akan tumbuh dan perahu yang semula tertelungkup dapat mengapung kembali, siap digunakan untuk berlayar. Sangkuriang yang terjaga dari tidurnya, terheran-heran mendapati negerinya tengah melangsungkan perayaan. Bait-bait papantunan berikut ini mengisahkan hal tersebut:
Pantun Bahasa Sunda
Tashawwuf dan Struktur Insan

Karya-karya Haji Hasan Mustapa pada dasarnya adalah kumpulan dari ajaran tashawwuf dan karenanya walaupun beliau membahas banyak aspek budaya Sunda, kesemuanya itu ditujukan untuk membentuk bingkai pasulukan di Pasundan yang beliau uraikan panjang lebar. Adapun untuk mengerti apa yang dimaksud dengan tashawwuf ada baiknya menetapkan dulu sekelumit definisi agama (Ad-Diin) yang tersulam dalam Al-Qur'an dan ajaran Rasulullah Muhammad saw agar dapat terlihat secara jelas peta permasalahannya. Hadits berikut ini merupakan pondasi penting dalam membangun kerangka kajian lebih lanjut.

Pada suatu hari kami (Umar bin Khattab ra dan para sahabat ra lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Al-Islam." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu." Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang Al-Iman." Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNYA, kitab-kitabNYA, rasul-rasulNYA, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya." Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang Al-Ihsan." Rasulullah berkata, "Beribadahlah kepada Allah seolah-olah anda melihatNYA walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya Allah melihat Anda." …… Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?" Lalu Aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasulNYA lebih mengetahui." Rasulullah lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian." (Al-Hadits)

Hadits yang dikutip di atas menjelaskan bahwa Ad-Diin disangga oleh tiga tiang yaitu Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan, yang dalam konteks Al-Qur'an ditemukan padanannya pada istilah "Iman dan Amal Shalih". Islam sering dimaknai macam-macam seperti kedamaian atau keberserahdirian. Makna Islam sebagai "berserah diri" yang akan digunakan lebih lanjut dalam tulisan ini karena lebih nampak tautannya dengan hadits di atas. Bahwa Al-Islam berhubungan dengan melakukan tindakan-tindakan (amal) tertentu yang telah ditetapkan Allah sehingga berserah diri bukanlah bersikap pasif dan mengurung diri dalam gua untuk menghindar dari carut marut dunia tetapi justru bekerja keras (jihad) mencari, mengetahui, dan kemudian beramal sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Allah Ta'ala. Adapun ihsan berkenaan dengan sikap hati yang langsung berkaitan dengan keshalihan sebuah amal; shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Ihsan menandaskan keterhubungan amal-amal manusia dengan kehendak Allah Ta'ala, bahwa menyaksikan Allah Ta'ala bukan dalam istilah yang sempit "melihat dengan mata" tetapi mengenal Allah Ta'ala hingga ke apa-apa yang Dia cintai, Dia sukai, Dia kehendaki untuk kemudian manusia amalkan.

Imam Ali bin Abi Thalib kwh menyebutkan bahwa "Awaludinna Ma'rifatullah" yang artinya "Awal dari Ad-Diin (agama) adalah ma'rifatullah". Imam Al-Ghazali ra menegaskan bahwa "kemuliaan dan keutamaan manusia…adalah disebabkan persediaannya mengenal Allah (ma'rifatullah)…di mana ma'rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di akhirat adalah alat dan simpanannya." Adapun ma'rifat itu sendiri adalah dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu" yang artinya "Barangsiapa yang mengenal nafs-nya maka sungguh ia akan mengenal Rabb-nya."

Rangkaian ujaran insan-insan suci di atas menegaskan relasi yang erat antara Ad-Diin, ma'rifatullah, ma'rifatu-r-Rabb, hingga ke ma'rifatu-n-nafs. Bahwa awal sebuah keadaan beragama menempuh urutan-urutan panjang sejak mengenali apa yang Allah Ta'ala hadirkan secara unik dalam tiap jiwa atau nafs (ma'rifatu-n-nafs), mengenali Sang Pemelihara atau Rabb yang menetapkan kadar-kadar tertentu bagi setiap nafs (ma'rifatu-r-Rabb), hingga akhirnya mengenal Allah Ta'ala (ma'rifatullah).

Karenanya ibadah kepada Allah Ta'ala sering dikaitkan dengan metafora pemunculan buah (hasanah) dari sebuah pohon jiwa yang unik [Lihat QS Ibrahim (14) : 24-25]. Allah Ta'ala menetapkan benih yang spesifik kepada tiap-tiap jiwa manusia untuk ditumbuhkan menjadi pohon dan buah yang sesuai dengan benih tersebut [Lihat QS Al-Isra' (17) :13]. Beragamanya manusia berkaitan dengan bagaimana pengabdian atau ibadah manusia sesuai dengan apa yang Dia kehendaki (manusia menjadi kalimah Allah, kalimah Thayyibah [QS 14:24]), sesuai dengan benih amal dan kemisian yang telah Dia tetapkan sebelumnya pada setiap jiwa [QS 17:13] di alam persaksian [QS Al-A'raf (7) : 172]. Uniknya tujuan masing-masing individu digambarkan Maulana Rumi dengan indahnya:

"Dan seseorang berkata, 'Aku telah melupakan sesuatu.' Sesungguhnya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan. Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu maka tiada sesuatu pun telah engkau capai. Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim seorang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa. Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apapun…"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada petala langit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi Al-Insaan mengambilnya; dan sungguh, ia itu dzalim dan bodoh." (QS Al-Ahzab [33]: 72)

Pada kenyataannya sulit bagi manusia untuk menumbuhkan benih kemisian tersebut jika tanah tempat tumbuhnya benih tersebut adalah tanah gersang bumi diri yang kering dari hujan rahmat Allah Ta'ala. Hanya dengan dua bagian rahmat-Nya [QS 57:28] yaitu (1) manusia dapat menempuh jalan pensucian dan disucikan (Al-Muthahharun) yang karena kesuburan sang muthahharun maka (2) benih ketetapan-Nya dapat dikenali (ma'rifat) dan dipersaksikan (syuhada) untuk kemudian ditumbuhkan dan berbuah (untuk manusia lain dan semesta alam) dan menjadi kalimah-Nya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalbnya terpendam dosa."

Dalam skema ini maka problem yang muncul lebih pelik lagi, yaitu bukan sekadar tidak melanggar pagar syari'at lahir (seperti tidak mencuri, tidak berzina, dan sebagainya) tetapi lebih jauh lagi yaitu bagaimana memilih sebuah tempat di dalam pagar yang benar-benar merupakan kehendak-Nya. Oleh karena itu dosa juga bukan sekadar pelanggaran pagar syari'at lahir, tetapi melaksanakan dan membatin apa-apa yang Allah Ta'ala tidak sukai. Hukum fiqih dapat digunakan sebagai sarana untuk mengaproksimasi atau mendekati syari'at lahir yang dengannya manusia dihukumi pada tingkat karya. Tetapi pada tingkat cipta, karsa, hingga rasa maka hukum fiqih tidak dapat diberlakukan. Kedengkian tidak dapat dihukumi secara lahir namun di mata Allah merupakan sebuah sikap batin yang amat dibenci dan merupakan sebuah dosa yang berdampak pada penggelapan kalbu.

"Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di petala langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang dalam nafsmu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat penghisaban dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2]: 284)

Ad-Diin didirikan diatas tiga sendi, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan; yang padanannya dalam Al-Qur'an adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syari'at. Dari uraian tentang dosa di atas maka syari'at pun terbagi menjadi dua yaitu, pertama, Syari'at Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syari'at Batin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf. Syari'at lahir menjaga manusia sewaktu sedang terjaga, sedangkan syari'at batin menjaga manusia terus menerus, baik sedang dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Tashawwuf sebagai syari'at batin telah ada realitas dan hakikatnya pada zaman Rasulullah Saw namun tidak dinamakan demikian karena pada dasarnya keberagamaan hingga tingkat Al-ihsan telah Nabi saw dan para sahabat lakukan. Karena pengertian Ad-Diin setelah wafatnya Rasulullah saw dan para sahabat mengalami degradasi hingga menjurus ke arah amaliah formal semata maka tashawwuf muncul sebagai ikhtiar melengkapi amal dengan iman dan ihsan hingga akhirnya menjadi hamba yang didekatkan (qarib).
Bagan Ad Diin dan Tashawwuf
Meskipun setiap individu memiliki benih dan misi yang spesifik dan unik, namun perlu dikaji pola yang umum berlaku dalam rangka mencapai persaksian dan kedekatan dengan Allah Ta'ala. Pintu masuk menuju hal ini adalah pada bagaimana menemukan tatanan apa yang senantiasa tertanam dalam diri manusia (innate), dengan kata lain seperti apa struktur insan dalam kaitannya dengan perjalanan menuju Allah Ta'ala. Berikut kita simak "ayat cahaya" yang amat masyhur di kalangan shufi yang membuka ihwal struktur insan.

Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang {mishbah}. Pelita tersebut di dalam kaca {zujajah}, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS An Nuur (24): 35]
Struktur Insan Menurut Al Quran
Ayat beserta gambar misykat diatas merupakan skema yang ringkas namun padat dari Struktur Insan; struktur manusia yang telah digelari sebagai Cahaya Allah, khalifatullah, yaitu mereka yang telah menemukan misi hidupnya di muka bumi ini (syuhada) untuk kemudian menjalankan misi hidup tersebut (shiddiqin) [Lihat QS An-Nisaa (4) : 66]. Ayat ini merepresentasikan nafs yang didalamnya terdapat qalb (zujajah) yang bercahaya seperti planet (kaukab, benda langit yang tidak memiliki cahaya sendiri, menyala karena memantulkan cahaya dari benda lainnya) karena buah dari ketaqwaannya, dengan titik api yang menyala di inti qalb yang tak lain adalah Ruh Al-Quds (mishbah) yang kesemuanya itu dibungkus dalam sebuah jasad (misykat, benda gelap yang tak tembus pandang).

Ruh Al-Quds merupakan "utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini [Lihat QS Asy-Syura (42) : 52, langsung dari bahasa Qur'annya yang mana terdapat kalimah ruuh dan amr]. Ruh Al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) amr.

Sedang nafs adalah "fokus pendidikan Ilahi" dan "harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq." Adapun jasad berasal dari "alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haqq dalam alam syahadah" dan "berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan Al-Haqq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya." Jasad memiliki suatu kecenderungan yang dinamakan dengan syahwat, kecenderungan akan hal-hal yang material, segala sesuatu yang sama berasal dari unsur-unsur kebumian.

Trilogi jasad, nafs dan ruh—terutama dua yang terakhir—seringkali tak dikenali, ataupun bahkan kurang tepat dalam pembahasannya sebagaimana telah disinyalir oleh Imam Al-Ghazali ra. Beliau pun menjelaskan dua pengertian nafs, yaitu, pertama, nafs dalam arti hawa nafsu yang merupakan campuran (aradh) pada nafs lathifah namun sebenarnya bukan bagian dari nafs lathifah. Hawa nafsu adalah "kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak…merupakan produk persentuhan antara nafs dan jasad." Hawa nafsu tersebut berbentuk embrio-embrio yang dapat tumbuh jika dipupuk sehingga mewujud dalam diri manusia secara independen dan membentuk nufussul hawiyyah. Jika hawa nafsu tadi sudah mewujud, maka si nafs harus menjadi gembalanya.

Kedua, nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan Hakikat Insan, diri manusia yang sebenarnya. Nafsul lathifah ini diidentifikasi (atau dinamai) berdasarkan kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut. Jika si nafs terbebas dari pengaruh-pengaruh hawa nafsu beserta embrio-embrionya maka disebutlah sebagai an-nafs al-muthmainnah. Nafs 'amara bi su' adalah nafs yang menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk karena ia disifati, bahkan didominasi, oleh hawa nafsu yang merupakan hijab antara manusia dengan qalbnya. Sedang an-nafs al-lawaamah adalah nafs yang tidak sempurna "ketenangannya" mencela, berperang dan menyesali noda-noda yang menempel dalam dirinya.

Insan cahaya Ilahi dengan struktur utuh (memiliki Ruh Al-Quds) merupakan subjek yang akan memulai berjalan dalam Ad-Diin Allah. Untuk mencapai struktur yang sempurna (ma'rifatullah) maka manusia harus menumbuhkan bola kaca (zujajah) qalb dengan membuatnya menyala bak kaukab melalui minyak pohon-zaitun ketaqwaan. Dengan hidupnya kalbu maka jiwa yang terkulai lemas akibat dosa-dosa menjadi hidup dan mulai berjalan mengenali urusan (amr) dan kadar dirinya yang telah ditetapkan Allah Rabbu-l-'alamin. Jika proses penyucian diri dan pengenalan diri (jasad dan jiwa) telah paripurna maka Allah Ta'ala akan mengirim utusan-Nya, Ruh Al-Quds, sebagai penasihat atau pemberi fatwa dalam hati. Keadaan (state) ma'rifatullah yang ditandai dengan hadir-Nya kuasa Allah (Ruh Al-Quds) dalam qalb insan disampaikan Rasulullah saw dalam hadits sebagai berikut: "Tidaklah memuat-Ku bumi-Ku dan langit-Ku. Yang memuat-Ku adalah qalb hamba-hamba-Ku yang Al-Mu'min" (Al-Hadits)

Ma'rifat merupakan rahmat dari Allah Ta'ala terhadap hambaNya yang Dia kehendaki; rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthaharrun (tingkat kesucian bayi) yang merupakan rahmat pertamanya. Mengenai hal ini Ibnu Atha'illah ra mengatakan bahwa

"Ketika terbuka kepada wajah pengenalan (ta'aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu. Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu."

Dalam membahas mengenai Struktur Insan, para shufi melakukannya dengan detail dan rigour karena Struktur Insan adalah suatu hal yang fundamental yang mana permasalahan lain di dunia ini merupakan perpanjangan darinya. Hari ini telah banyak tulisan yang dibuat oleh cendekiawan Muslim yang membahas masalah tersebut, memetakannya serta mencoba membandingkan dan menyamakan beberapa aspek-aspek tertentu dari Psikologi Barat—yang memang telah terlebih dulu berkembang secara ilmiah dan sistematik—dengan konsepsi-konsepsi Struktur Insan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits yang kemudian segera dilabeli dengan istilah "Psikologi Islami". Namun bahasan-bahasan tersebut lupa untuk menguraikan secara jelas garis batas wilayah antara kajian psikologi dan tashawwuf. Walau psikologi dan tashawwuf mengambil manusia sebagai objek kajiannya namun aspek manusia yang menjadi fokus pengamatannya berbeda satu sama lain, baik secara epistemologis maupun entitas, walau pun dalam beberapa hal kedua disipilin ilmu ini membentuk suatu hubungan yang komplementer mengenai Struktur Insan.

Kebudayaan diawali dari pengenalan seorang manusia akan dirinya. Dari seluruh aspek kebudayaan yang melekat dalam kehidupan kita hari ini, yaitu bahasa dan mitos-mitos, yang tercipta sejak dahulu kala, persoalan pengenalan kejati dirian inilah yang akan terus menerus terangkat. Oleh karenanya, seluruh alam-dimana ilm (ilmu) adalah salah satu turunan katanya dalam bahasa Arab-yang melingkupi dirinya dapat menjadi bahan untuk pengenalan diri (nafs) yang akan menghantarkannya pada pengenalan akan Tuhan (Rabb)-nya. Kejatidirian manusia dan budaya yang membentuk suatu korelasi yang kuat baik pada tingkatan sadar (conscious) maupun tak sadar (unconscious) merupakan suatu 'harta karun' yang harus kembali digali tanpa pretensi kebangggaan dan arogansi kesukuan, karena bagaimanapun khazanah tersebut hanyalah 'sesuatu yang dititipkan' pada satu suku bangsa untuk bisa dikenali dan dihikmati kekayaannya oleh seluruh umat manusia.

Catatan Kaki:

1. Thwaites, Tony, Lloyd Davis & Warwick Mules, (1994): Tools for Cultural Studies, Macmillan: Australia, hal. 1.
2. Levi-Strauss, Jean Claude, (1972) : Structural Anthropology, alih bahasa dari Prancis oleh Claire Jacobson dan Brooke Grundfest Schoepf, Penguin Books : London, hal. 365-366.
3. Paz, Octavio, (1995): Levi Strauss: Empu Antropologi Struktural, alih bahasa oleh Landung Simatupang, LkiS: Yogyakarta, hal. 95.
4. Ibid., hal. 95.
5. Levi-Strauss, Jean Claude, (1972) : Structural Anthropology, alih bahasa dari Prancis oleh Claire Jacobson dan Brooke Grundfest Schoepf, Penguin Books : London, hal. 208.
6. Levi-Strauss, Jean Claude, (1972) : Structural Anthropology, alih bahasa dari Prancis oleh Claire Jacobson dan Brooke Grundfest Schoepf, Penguin Books : London, hal. 210.
7. Semua teks Haji Hasan Mustapa dalam makalah ini dikutip dari Ajip Rosidi, (1993): Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, Pustaka: Bandung.
8. M.R. Bawa Muhaiyaddeen, (1985): Come to teh Secret Garden, Teh Fellowship Press: Philadelphia, hal. 272.
9. Imam Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, (1983) Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, hal. 5.
10. Rumi, (2000): Secicip Rumi bagi para Sahabat, diterjemahkan oleh Herman Soetomo, buletin Faidlil Anwar, PICTS: Bandung.
11. Ibid., hal. 6.
12. Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000) Struktur Insan dalam Al-Qur'an, Apa yang Tersentuh oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ), Journal of Psyché Vol. 1, No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan Pengembangan Psikologi – Yayasan Pendidikan Paramartha, Bandung, hal. 7. Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Struktur Insan tersebut beserta seluk beluknya. Juga lihat Zamzam A.J.T., (1997): Misykat Cahaya-cahaya, PICTS-YPP, Bandung.
13. Ibid., hal. 7.
14. Ibid., hal. 8. Lihat juga QS Al-Hajj (22) : 46 tentang berjalan di muka bumi hingga memiliki hati yang berakal.
15. Ibid., hal. 6.
16. Ibid., hal. 7.
17. Ibid., hal. 6.
18. Ibnu Atha'illah Al-Iskandari, (2001): Al-Hikam, diterjemahkan oleh Zamzam A.J.T. dan Kuswandani beserta tim PICTS, belum dipublikasikan.
19. Masalah ini dibahas lebih jauh dalam Alfathri Adlin & Ening Ningsih, (2001) Carut Marut Psikologi Islami: Batasan antara Psikologi dan Tashawwuf, naskah untuk Journal of Psyché Vol. 2, No. 1, akan diterbitkan, atau untuk pengantar yang komprehensif mengenai masalah ini lihat Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000) Struktur Insan dalam Al-Qur'an, Apa yang Tersentuh oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ), Journal of Psyché Vol. 1, No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan Pengembangan Psikologi – Yayasan Pendidikan Paramartha, Bandung.

(Tulisan ini merupakan makalah yang dipresentasikan dalam acara Konferensi Internasional Budaya Sunda, dan ditulis bersama Iwan Suryolaksono. Kami sadar, begitu banyak hal yang harus dikoreksi dalam tulisan ini, namun untuk kali ini, biarlah tulisan ini tampil sebagaimana adanya, seperti pertama kali dipresentasikan.)